“Belum ada sejarah Kepala
Daerah dipenjara karena memperjuangkan Nasib Rakyatnya, Bahkan Jika pun ada
maka itu lebih Mulia daripada Berdiam Diri”(Hamsaluddin)
Konflik
di sekitar kawasan hutan masih menempati urutan teratas di Negara ini, Potensi
Konflik di sector Kehutanan ini bahkan bersifat laten dan semakin menambah
sejarah buruknya perhatian Pemerintah kepada masyarakatnya. Sampai saat ini ada
33.000 Desa yang berkonflik di sekitar dan dalam Kawasan Hutan, untuk wilayah
Sulawesi Selatan berjumlah 719 Desa/Kelurahan dan Khusus Kota Palopo ada 5
Kelurahan dengan Jenis Konflik Hutan Lindung dan Konservai Taman Wisata Alam
Satu hal yang tak dapat dipungkiri bahwa potensi Konflik Kehutanan ini adalah salahsatu bentuk warisan paradigma Hukum zaman Belanda dengan UU Agraria 1870 atau biasa dikenal dengan Agrarische Wet 1870. Undang- Undang ini paling terkenal dengan ungkapan bahwa semua tanah yang tidak bisa dibuktikan sebagai hak eigendom seseorang maka tanah tersebut adalah Tanah Milik Negara. Disisi yang lain kita mengenal Kawasan Hutan yang sering didefinisikan sebagai Suatu Kawasan yang diatasnya tidak berdiri Hak”Sertifikat”.
Tindakan Semena-mena Negara di sector Kehutanan
dilanjutkan atau diwarisi oleh UU 41 Tahun 1999 seperti pada Pasal 1 Angka 3
sebelum direvisi “Kawasan Hutan adalah Wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau
ditetapkan oleh Pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai Hutan
Negara”. Pasal ini yang banyak menimbulkan konflik karena penegakan
hukumnya dibarengi dengan Fatwa Kekuasaan Kehutanan yang dengan semena-mena
menunjuk suatu wilayah sebagai Kawasan Hutan, baik itu perkampungan ataupun
sector-sektor produksi masyarakat.
Kewenangan Kehutanan yang sangat adi kuasa ini dikeluhkan oleh masyarakat dan bahkan Pemerintah di beberapa Daerah karena merasa tidak ada jaminan kepastian hukum dalam menjalankan kewenangannya yang berada di sekitar atau didalam Kawasan Hutan seperti Permukiman,Perumahan, maupun sarana Prasarana lainnya yang mendukung kemajuan Masyarakat di Daerahnya seperti Bupati Kapuas, Bupati Katingan,Bupati Barito Timur, Bupati Sukamara,Bupati Gunung Mas yang dengan berani melakukan gugatan hukum ke Mahkamah Konstitusi mengenai pasal 1 Angka 3 UU 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan tersebut.
Perjuangan Gugatan beberapa Bupati diatas dipenuhi oleh
Mahkamah Konstitusi dengan Putusan MK No.45/PUU-IX/2011 yakni merevisi Pasal 1
Angka 3 UU 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dari ““Kawasan Hutan adalah Wilayah
tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh Pemerintah untuk dipertahankan
keberadaannya sebagai Hutan Negara” menjadi “Kawasan Hutan adalah Wilayah
tertentu yang ditetapkan oleh Pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya
sebagai Hutan Tetap”. Perubahan Redaksi Pasal diatas memastikan pula
tentang Konsekuensi Hukum terhadap Kawasan Hutan yang masih dalam status
penunjukan antara lain :
1.
Kawasan Hutan yang masih dalam status
Penunjukan tidak memiliki Konsekuensi Hukum dan Penerapan Hukum diatasnya
adalah Bentuk Pelanggaran dan Kriminalisasi.
2.
Mendesak Pihak Kehutanan untuk melakukan
Tahapan Penatabatasan Kawasan Hutan sesuai dengan prosedur yang ditetapkan.
Putusan MK No.45/PUU-IX/2011 ini merupakan salahsatu
solusi untuk penyelesaian Konflik Sumber Daya Alam yang berada di Sekitar atau
di dalam Kawasan Hutan di masing-masing Daerah, hal ini tentunya harus dibarengi
dengan Sikap dan Political Will Pemerintah Daerah yang Bijak dan mau
menyelamatkan Masyarakatnya dari Jeratan Hukum yang terkait dengan Kehutanan.
Khusus di Kota Palopo yang memiliki 5 Keluharan yang
berada disekitar dan didalam Kawasan Hutan tercatat ±10 Kasus Masyarakat yang
terjerat oleh aturan-aturan Kehutanan dan menjadi kendala serta alasan bagi Pemerintah
Daerah dalam memberikan Bantuan serta Pelayanan pada sector vital seperti
PUSKESKEL dan Jalan Tani di Kelurahan Battang Barat, Pembangunan Sekolah Dasar
di Kelurahan Padang Lambe/Lemarrang.
Di satu sisi Kawasan Hutan untuk Provinsi Sulawesi
Selatan masih dalam Status Penunjukan Sesuai SK No. 434 Menhut-II/2009 yang
berarti segala aktifitas penjagaan Hutan yang meniscayakan Penegakan Hukum
setelah di Revisinya UU 41 Tahun 1999 Pasal 1 Angka 3 adalah bentuk Pelanggaran
Hukum dan tindakan tersebut adalah Ilegal serta Kriminal.
Demi berjalannya Penerapan Kebijakan dan Implementasi
Hukum yang benar pada sector Kehutanan, diharapkan Peran Pemerintah Daerah Kota
Palopo untuk turut aktif mengimplementasikan Rekomendasi Putusan Mahkamah
Konstitusi No.45/PUU-IX/2011 seperti melakukan Penatabatasan Kawasan Hutan yang
melibatkan Masyarakat sesuai dengan Peraturan Pemerintah yang berlaku dan
mendorong Revisi Tata Ruang Wilayah dengan tidak mengikuti Peta Penunjukan Kawasan
Hutan secara membabi buta, karena Peta Penunjukan hanya menjadi acuan bagi Pemerintah
Daerah untuk menvalidkan dan memastikan tidak adanya hak-hak pihak ketiga dalam
Peta Penunjukan tersebut
Pelibatan Masyarakat terkait Penatabatasan Kawasan Hutan
adalah bentuk Penghargaan,Penghormatan dan Perlindungan Hak-Hak Masyarakat yang
berada di sekitar dan di dalam Kawasan Hutan seperti yang diatur pada Nomor :
P.62/Menhut-II/2013 TENTANG PERUBAHAN
ATAS PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR
P.44/MENHUT-II/2012 TENTANG PENGUKUHAN KAWASAN HUTAN Pasal 1 Angka
17-18.
Penatabatasan yang tidak Partisifatif akan menimbulkan claim
hak dimasing-masing pihak dan menjadi cikal bakal Konflik Sumber Daya Alam
antara Pemerintah dan Masyarakat. Implementasi MK No.45/PUU-IX/2011 dengan melakukan
Penatabatasan Ulang Kawasan Hutan dan Merevisi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW)
Kota Palopo adalah hal yang di impikan oleh Masyarakat yang berada disekitar
dan didalam Kawasan Hutan, hal ini juga menjadi Peluang Besar bagi Pemerintah
Kota Palopo untuk melayani masyarakat dengan pemberian Fasilitas Umum tanpa
melanggar Hukum yang ada.
Harapan untuk meminimalisir Konflik Sumber Daya Alam
disekitar dan didalam Kawasan Hutan sangat memiliki Peluang Besar bagi
Pemerintah Daerah Kota Palopo, hal ini dengan merujuk Kawasan Hutan Kota Palopo
yang masih mencapai 42% dan masih besar untuk ambang batas Kawasan Hutan yang
dipersyaratkan untuk setiap daerah. Namun sekali lagi dibutuhkan Kebijakan Pemerintah
Daerah Kota Palopo yang Pro Rakyat seperti beberapa Bupati yang dengan susah
payah melakukan Gugatan UU 41 Tahun 1999 Pasal 1 Angka 3 demi mewujudkan Pembangunan di Daerahnya.
Pemerintah Kota Palopo tak harus latah memahami mekanisme Hukum yang ada tapi
melihat Aspirasi dan kebutuhan Masyarakat, karena keinginan Masyarakat tentunya tidak
memikirkan kerugian bagi hidup mereka.