counter

Jumat, 20 Desember 2013

DAS Rongkong di Lamar 4 Perusahaan

Kemajuan Zaman yang berbasis tekhnologi, mengharuskan adanya ketersediaan energi untuk memenuhi serta teroperasikannya mesin-mesin tekhnologi, Kehidupan Manusia sangat sarat dengan Kebutuhan Energi seperti energi Listrik, tak pelak para Kapital menjadikan hal ini ladang empuk untuk meraih keuntungan. 

Ketika ruang ini dikelola oleh pihak-pihak swasta sebagai pemegang modal maka tak pelak hal ini adalah bisnis, bisnis energi yang menguntungkan karena berbasis pada kebutuhan manusia, sangat jarang dan mungkin sudah tak ada lagi segelintir masyarakat yang mengangap gelap adalah hal yang lumrah, semua ingin terang dan tercahayai.

Pembangunan PLTA yang menggunakan Sumber Daya Air adalah sebuah inovasi yang mampu memberikan kemudahan bagi manusia, alam menyajikan potensi untuk kemakmuran manusia, namun dapatkan debit air yang banyak bertahan serta melimpah dengan derasnya tanpa ada perlakuan yang arif dari manusia yang berada disekitar sungai tersebut. Jawabnya tentu tidak, Sungai atau DAS rongkong sampai saat ini masih memiliki cakupan air yang besar karena perlakuan baik dari masyarakat yang berada di Hulu Das Rongkong tersebut, siapakah mereka? tentunya adalah Masyarakat di dua Kecamatan yakni Kecamatan Limbong dan Kecamatan Seko.

Dialog Live Radio To Kalekaju Membahas Resolusi Konflik Kehutanan Battang Barat

Dialog Live Radio To Kalekaju FM,''Menggugat Tata Ruang Kota Palopo: Tata Ruang untuk Siapa?''Palopo_To Kalekaju FM (SUARA KOMUNITAS). Radio To Kalekaju FM Kota Palopo menggelar Dialog Live Radio bertema,'' Menggugat Tata Ruang Kota Palopo: Tata Ruang untuk Siapa?'' untuk mencari upaya penyelesaian konflik kehutanan yang terjadi di Kelurahan Battang Barat Kecamatan Wara Barat Kota Palopo (18/12) bertempat di ruang pertemuan Perkumpulan Wallacea.

Dialog yang dihadiri oleh parapihak yang berkepentingan, seperti Dinas Kehutanan dan Perkebunan (Dishutbun), Bappeda, Dinas Tata Ruang,  NGO dan pemerhati lingkungan -seperti Perkumpulan Wallacea, AMAN Tana Luwu-, perwakilan BEM mahasiswa, dan komunitas-komunitas yang berasal dari dataran tinggi Kota Palopo,- seperti Kambo, Latuppa, Padang Lambe, dan komunitas Ba'tan yang ada di wilayah To jambu.

Program dialog live radio ini merupakan bentuk dukungan seta kepedulian terhadap komunitas Ba'tan di Wilayah To Jambu yang tengah menghadapi konflik kehutanan karena hampir seluruh wilayahnya ditunjuk sebagai hutan lindung dan hutan konservasi Taman Wisata Alam (TWA) Nanggala III. Dialog yang dipandu Basri Andang ini diawali dengan pemutaran film dokumenter,''Menjaga Kearifan Lokal, Mencegah Perubahan Iklim Global.'' Pemutaran film tersebut menjadi pengantar dialog.

Masyarakat Sipil Tolak Kebijakan Pembangunan yang Tidak Konsisten dengan Rencana Penyelamatan Hutan

Jakarta, 17 Desember 2013. Indonesia tengah berada di persimpangan jalan. Komitmen SBY untuk menurunkan emisi sebesar 26% atau 41% dari kondisi bisnis seperti biasa pada tahun 2020 sekaligus menjaga pertumbuhan ekonomi sebesar 7% mulai dipertanyakan oleh masyarakat sipil, terlebih ketika kebijakan percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi Indonesia yang tercakup dalam Perpres No. 88/2011 atau MP3EI, justru mengancam keberadaan hutan Indonesia yang tersisa, yang merupakan tumpuan hidup puluhan juta penduduk, termasuk masyarakat adat dan lokal. Janji Pemerintah untuk ‘menghijaukan’ MP3EI pasca-protes masyarakat sipil pun belum terlihat sementara Pemilu sudah di depan mata. Berdasarkan analisis HuMa dan 23 organisasi lain yang terlibat dalam jaringan pendokumentasi konflik, kerusakan lingkungan dan konflik agraria diperkirakan akan meningkat menjelang tahun politik seiring maraknya transaksi ekonomi-politik untuk mencapai kursi kekuasaan. Dalam hal ini, daerah menjadi medan pertempuran penting karena di tingkat inilah konsesi eksploitasi SDA banyak dikeluarkan secara masif menjelang pemilu.

Selasa, 17 Desember 2013

20.000 Hektare Hutan Sulsel Rawan Konflik

MAKASSAR - Dari 21,1 juta hektare hutan yang dimiliki Sulawesi Selatan, seluas 20.000 hektare diantaranya berpotensi tinggi mengalami konflik.   

Penyebabnya, hampir sebagian besar dari luas hutan yang rawan berkonflik tersebut merupakan hutan lindung. Namun belakangan, kawasan tersebut telah ditinggali oleh warga setempat.

Kawasan hutan yang sewaktu-waktu bisa menimbulkan konflik tersebut diantaranya tersebar di Kab Sinjai, Bulukumba, dan Bone, Luwu Utara (Lutra) dan Kab Luwu.

"Luas hutan yang bermasalah itu mencapai 20.000 hektare dan bersentuhan kawasan hutan. Sampai sekarang belum ada tindak lanjut," ungkap Kepala Dinas Kehutanan Sulsel Syukri Mattinetta kepada wartawan, Selasa (6/3/2012).

Dia mengatakan, persoalan tersebut sudah bertahun-tahun dan belum kunjung diselesaikan hingga sekarang ini. Olehnya itu, Syukri meminta kepada daerah yang bersangkutan untuk mengajukan permohonan ke Kementerian Kehutanan (Kemenhut)
agar dijadikan hutan kemasyarakatan.