counter

Selasa, 27 Desember 2011

Profile Kelurahan Battang Barat

A.   Demografis Kelurahan Battang Barat
            Kelurahan Battang Barat merupakan bagian dari Wilayah Katomakakaan Adat Ba'tan dan sekaligus merupakan perkampungan Tua Masyarakat Adat Ba'tan yang oleh masyarakat setempat lebih dikenal dengan nama To'jambu, saat ini wilayah Katomakakaan Adat Ba'tan yang sebelumnya berada dalam wilayah administrasi pemerintahan Kelurahan Battang.saat ini wilayah Katomakaan Ba’tan terbagi dalam 3 (tiga ) wilayah administrasi pemerintahan yakni; Kelurahan Battang, Kelurahan Padang Lambe dan Kelurahan Battang Barat.
            Dalam sistem pemerintahan Masyarakat Adat Ba'tan dikenal perangkat-perangkat adat seperti; Tomakaka, To'Matua, Pa'baliara, anak Tomakaka, Bunga'lalan yang berfungsi sebagai pembantu Tomakaka. Sementara untuk wilayah Adat di Battang Barat ini dipimpin oleh To'matua Kampong To'jambu dibawah Katomakakaan Ba'tan yang secara turun temurun dikuasakan melalui proses musyawarah adat dan sekarang ini dijabat oleh Bapak Ayyub.
            Letak Geografis Kelurahan Battang Barat terletak di Zona 50 S. 0179891 mT- 9673400 mU dan 0172118 mT - 9673048 mU. Kelurahan Battang Barat secara administrasi terletak di Km 16 – KM 38 disebelah Barat Kota Palopo yang berbatasan :
-       Sebelah Barat     : Kabupaten Tana Toraja Utara.
-       Sebelah Utara     : Kelurahan Padang Lambe
-       Sebelah Timur    : Kelurahan Battang
-       Sebelah Selatan : Kelurahan Latuppa dan Kab.Luwu
Luas wilayah Kelurahan Battang Barat adalah 3167.73 Ha
(Hasil Pemetaan Partisfatif Masyarakat Battang Barat,PBS,SLPP,Wallacea :2010).
Luas Wilayah ini terbagi dari beberapa zona penggunaan lahan antara lain :
-       Pangngala Tamban/ Hutan Lindung                   : 2381.68 Ha.
-       Awak Murruk/Hutan Penyangga                          : 256.18 Ha.
-       Bela to Buda/ebun Masyarakat                             : 186.49 Ha.
-       Bela to salian/Kebun Masyarakat Luar                : 75.71 Ha.
-       Kabo/Bekas Kebun                                                 : 201.5 Ha
-       Kampong/Perkampungan                                     : 46.24 Ha
(Hasil Pemetaan Partisfatif Masyarakat Battang Barat,PBS,SLPP,Wallacea :2010)

B.   Sejarah Penguasaan Wilayah/Tanah
            Sejarah Penguasaan Tanah di Kelurahan Battang Barat merujuk pada sejarah penguasaan wilayah adat Ba’tan, yakni penguasaan secara turun temurun dan pengakuan dari wilayah adat tetangga. Masyarakat Battang Barat mendudui wilayah jauh sebelum kemerdekaan Republik Indonesia.
            Salahsatu contoh penguasaan wilayah dalam bentuk kearifan diidentifikasi melalui batas-batas alam seperti punggung Gunung dan Sungai. Masyarakat Battang Barat mengklaim wilayah perbatasan disebelah Barat yang berbatasan dengan Kabupaten Tana toraja utara (sekarang) dengan batas punggung gunung. Ciri-cirinya adalah apabila aliran air kesebalah timur maka itu wilayah adat Ba’tan sedangkan air yang mengalir kesebelah barat itu adalah wilayah Tana Toraja.
            Masyarakat Battang Barat pernah meninggalkan wilayahnya pada tahun 1950an karena gejolak perjuangan DI/TII yang dipimpin oleh Abdul Kahar Muzakkar dan banyak diantara mereka ikut menjadi pejuang Revolusi saat itu, setelah pergolakan Revolusi DI/TII dibubarkan Masyarakat Battang Barat kembali ke wilayah mereka sekitar tahun 1960an dan kembali mengelola wilayah-wilayah mereka sebelumnya.
            Pada Tahun 1989 Masyarakat Battang Barat direlokasi ke Kabupaten Luwu (sekarang Luwu Utara) tepatnya di Kecamatan Lara, Wilayah VIII, disebabkan bencana longsor yang terjadi pada Tahun 1987.(Ayyub.Tomatua to’Jambu). Namun disebabkan proses relokasi yang tidak menjamin kehidupan mereka seperti konflik lahan dengan masyarakat setempat, kondisi lahan yang kurang bagus untuk pertanian, tempat tinggal dan jaminan hidup yang kurang baik sehingga masyarakat Battang Barat perlahan-lahan kembali ke wilayahnya.
            Pola distribusi serta pola penguasaan lahan yang awalnya mengacu pada sistem kekuasaan adat menjadikan Mayoritas Masyarakat Battang Barat menguasai tanah tanpa memiliki alas hak seperti Sertifikat tanah, Proses penguasaan lahan diakui oleh sesama mereka jika melakukan pengelolaan atas tanah tersebut dan dapat hilang jika ditinggalkan dan tidak diamanahkan.
Adapun alas hak sertifikat tanah banyak dimiliki oleh para pejabat-pejabat besar serta menguasai tanah dalam skala besar. Tanah-tanah tersebut kebanyakan diberikan hak kelola kepada masyarakat setempat dengan mekanisme bagi hasil, tanah masyarakat luar ini banyak difungsikan sebagai kebun cengkeh, Puri dan Rumah.

C.   Sistem Pengelolaan dan Penggunaan Tanah
Proses Distribusi Tanah di Wilayah Battang Barat sebelumnya ditentukan oleh Pemangku adat atau tomatua to’jambu. Baik itu untuk penggunaan rumah atau perkebunan. Proses didtribusi ini tetap meperhatikan kondisi alam dan nilai-nilai kearifan lokal masyarakat adat Ba’tan seperti, larangan mengelola “litak mindoke jio langi’” atau tanah yang bergantung di atas langit. Kearifan ini bermakna larangan untuk mengelola tanah yang memiliki kemiringan yang sangat terjal, karena dapat membawa musibah serta hasil yang kurang baik.
Masyarakat Battang Barat sangat memperhatikan kondisi-kondisi alam dalam melakukan pengelolaan tanah sehingga Luas wilayah yang berada dalam klaim mereka tak semuanya dikelola, hal ini mengingat kondisi geologis wilayah yang dominan terdiri dari pegunungan dan tanah-tanah yang memiliki lapisan batu.
Masyarakat Battang Barat banyak menggunakan tanah-tanah yang relatif datar dan difungsikan untuk Pembangunan Rumah serta perkebunan. Masyarakat Battang Barat dalam mengelola wilayahnya selalu memperhatikan kearifan lokal sehingga mereka menggunakan lahan-lahan perkebunan dominan untuk tanaman-tanaman jangka panjang seperti cengkeh, Nira dan tanaman buah (durian, langsat,rambutan dan mangga).
Adapun tanah-tanah yang datar dan jauh dari akses perkampungan dikelola untuk tanaman sayur-sayuran dan buah seperti tomat, cabai,salak, labu dan lain sebagainya.

D.   Kondisi Masyarakat Battang Barat
Masyarakat Battang Barat yang merupakan bagian dari Komunitas Adat Ba’tan masih mempraktekkan cara hidup leluhur seperti Pengelolaan Hutan dan Hukum adat. Kelurahan Battang Barat terdiri dari tiga RW yakni zona bawah RW 1/ Paredean terletak di KM 16- 26, Zona tengah RW 2/Tanete terletak di KM 27-29, zona atas RW 3/Puncak terletak di KM 30-38.
Mayoritas penduduk masyarakat Battang Barat beragama Islam dengan jumlah kepala Keluarga sebanyak 247 KK atau ± 966 Jiwa (Samri :Staf Kelurahan Battang Barat).
Kelurahan Battang Barat memiliki Potensi Sumber Daya Alam di sektor wisata karena bentangan alam pegunungan serta aliran-aliran sungai yang relatif besar dan bersih. Potensi sungai di Battang Barat sekarang ini difungsikan sebagai sumber energi listrik (PLTMH) yang letaknya di Paredean (Sungai Bambalu). Potensi hewan yang khas dan menjadi sumber perekonomian warga adalah kupu-kupu, namun tidak menjadi rutinitas karena dikelola ketika mendapatkan pesanan dari luar wilayah seperti pesanan dari Bantimurung.
Potensi Alam di sektor Hutan seperti rotan, Kayu dengan berbagai jenis dan damar. Potensi rotan dengan berbagai jenis saat ini jarang dikelola oleh masyarakat battang barat karena adanya konflik dengan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Wil III Sul-Sel, dari sektor Hutan Masyarakat memanfaatkan pohon nira untuk disadap dan dijual ke kampung tetangga (Tana Toraja).seperti Sungai yang bersih secara umum masyarakat Battang Barat merupakan Petani dengan ciri khas Pertanian Dataran Tinggi dan pedagang (warung) di sepanjang jalan poros Trans Sulawesi dan banyak diperankan oleh wanita.
Secara sfesifik penghasilan masyarakat Battang Barat dari sektor pertanian seperti Hasil Cengkeh,Kopi, Durian, Langsat serta serta sayur-sayuran, sedangkan dibidang perdangan seperti Penjualan air nira manis ke tana toraja, warung makan, dodol (baje khas battang barat).
Konflik Lahan dengan Balai Konservasi Sumber Daya (BKSDA) Wil III Sul-Sel menjadi hambatan bagi masyarakat untuk melakukan pemanfaatan sumber daya alam seperti Rotan, Kupu-Kupu serta hasil hutan lainnya, Kondisi ini memaksa Masyarakat Battang Barat dalam memanfaatkan Sumber Daya Alam yang dimiliki dilakukan secara sembunyi-sembunyi, bagaikan mencuri Harta sendiri.

Acces masyarakat Battang Barat tidak hanya dibatasi oleh Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Wil III Sul-Sel pada pemanfaatan Sumber Daya Alam tetapi sampai pada klaim tanah perkebunan dan tanah perumahan masyarakat, hal ini tentunya menjadi faktor yang sangat merugikan masyarakat Battang Barat secara ekonomi, politik dan budaya.
Pemisahan Hak atau Acces Masyarakat Battang Barat dari wilayah mereka menjadi sumber konflik yang berkepanjangan, menciptakan perseteruan, kriminalisasi dan perampasan hak, seperti yang dialami oleh Bapak Dani Anton/ Mantong dan beberapa warga lainnya.
           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar