counter

Jumat, 03 Januari 2014

Konservasi Anti Pemberdayaan

Konservasi Anti Pemberdayaan
oleh (Tjong Paniti)

Banyak kasus penghengkangan komunitas dari ruang hidupnya sudah lama terjadi. Di Indonesia sudah terjadi sejak adanya ‘Kawasan Hutan Politik’ yang diterapkan Pemerintah Kolonial Belanda. Dan hingga kini paradigma ini masih berjalan di tingkat praktik. Dan ini yang menjadikan kawasan konservasi ‘haram’ dari aktivitas komunitas yang sudah lama tinggal di dalam maupun di sekitar kawasan tersebut.

Sebut saja kasus penangkapan seorang Sulawesi Selatan beberapa waktu lalu, karena alasan aktivitas warga tersebut telah memasuki areal Taman Wisata Alam Nanggala III (TWAN) yang saat ini melalui BKSDA (Balai Konservasi Sumberdaya Alam) setempat mengajukan perluasan areal. Walau sudah ada keputusan pengadilan, namun kasus tersebut berujung tidak jelas, warga Kelurahan Battang masih dalam bayang-bayang penangkapan oleh BKSDA.
warga di Kelurahan Battang, Palopo,

Rencana perluasan areal TWAN yang sudah diajukan oleh BKSDA setempat pada 2002 meliputi penambahan areal seluas 400 ha dari 500 ha menjadi 900 ha. Angka 400 ha tersebut sebagian besar telah mengklaim lahan-lahan masyarakat yang di era Pemerintahan Kolonial Belanda, masyarakat boleh mengusahakan kebun cengkeh yang dilakukan hingga sekarang. Proses penunjukkan perluasan TWAN pada 2004 belum mendapat persetejuan Menteri Kehutanan saat itu, karena proses pengajuannya tidak transparan.

“Kami pernah dikumpulkan oleh mereka (BKSDA-red), kami tanda tangan daftar hadir. Tapi kok tiba-tiba tanda tangan itu dianggap kami setuju rencana perluasan taman wisata,” jelas salah satu warga (yang diputus pengadilan bersalah karena telah masuk areal TWAN) yang tidak bersedia di sebut namanya di Battang, Kota Palopo (27/11).