oleh (Tjong Paniti)
Banyak kasus penghengkangan komunitas dari ruang hidupnya sudah lama
terjadi. Di Indonesia sudah terjadi sejak adanya ‘Kawasan Hutan
Politik’ yang diterapkan Pemerintah Kolonial Belanda. Dan hingga kini
paradigma ini masih berjalan di tingkat praktik. Dan ini yang menjadikan
kawasan konservasi ‘haram’ dari aktivitas komunitas yang sudah lama
tinggal di dalam maupun di sekitar kawasan tersebut.
Sebut saja kasus penangkapan seorang Sulawesi Selatan
beberapa waktu lalu, karena alasan aktivitas warga tersebut telah
memasuki areal Taman Wisata Alam Nanggala III (TWAN) yang saat ini
melalui BKSDA (Balai Konservasi Sumberdaya Alam) setempat mengajukan
perluasan areal. Walau sudah ada keputusan pengadilan, namun kasus
tersebut berujung tidak jelas, warga Kelurahan Battang masih dalam
bayang-bayang penangkapan oleh BKSDA.
warga di Kelurahan Battang, Palopo,
Rencana perluasan areal TWAN yang sudah diajukan oleh BKSDA setempat
pada 2002 meliputi penambahan areal seluas 400 ha dari 500 ha menjadi
900 ha. Angka 400 ha tersebut sebagian besar telah mengklaim lahan-lahan
masyarakat yang di era Pemerintahan Kolonial Belanda, masyarakat boleh
mengusahakan kebun cengkeh yang dilakukan hingga sekarang. Proses
penunjukkan perluasan TWAN pada 2004 belum mendapat persetejuan Menteri
Kehutanan saat itu, karena proses pengajuannya tidak transparan.
“Kami pernah dikumpulkan oleh mereka (BKSDA-red), kami tanda tangan daftar hadir. Tapi
kok tiba-tiba tanda tangan itu dianggap kami setuju rencana perluasan
taman wisata,” jelas salah satu warga (yang diputus pengadilan bersalah
karena telah masuk areal TWAN) yang tidak bersedia di sebut namanya di
Battang, Kota Palopo (27/11).
Pengajuan secara sembunyi-sembunyi dan manipulatif perluasan TWAN
oleh BKSDA tersebut yang menyebabkan belum ditandatangainya Surat
Keputusan penunjukkan oleh Menteri Kehutanan kala itu. Rencana perluasan
TWAN menurut warga Battang dengan proses-proses ilegal, karena BKSDA
tidak memperjelas tata batas hutan dan sosialisasi. Di dalam areal yang
diusulkan untuk perluasan terdapat lahan-lahan kebun masyarakat Battang
yang pada saat pengajuan masyarakat meminta untuk di-enclave (keluarkan dari areal perluasan TWAN).
“Saya tidak paham maunya pemerintah, dulu maysarakat dikasih program
penangkaran kupu-kupu di sini. Kok sekarang malah mau diusir, ” keluh
Sainal, Pendamping Pemetaan Partisipatif warga Battang yang sejak
kejadian penangkapan itu warga Battang secara sukarela melakukan
pemetaan partisipatif untuk memperjelas wilayah kelolanya.
Anti Pemberdayaan
Senasib sepenanggungan dengan warga Battang. Bahkan lebih buruk,
ribuan warga Kecamatan Masyurai, Jambi, yang berkebun kopi di areal
bekas hutan produksi di sekitar TNKS (Taman Nasional Kerinci Sebelat)
sudah digusur perlahan dengan cara
kekerasan (pembakaran pondok tinggal dan penebasan tanaman kopi
produktif) sejak 2009 lalu melalui operasi gabungan polisi hutan Dinas
Kehutanan Propinsi Jambi dan Kabupaten.
“Areal itu bekas HPH (Hak Pengusahaan Hutan), sekitar 15 tahun lalu
diusahakan oleh warga di beberapa desa di Kecamatan Masyurai. Dan bekas
areal HPH ini terlantar, saat ramai mitigasi iklim, areal ini diusulkan
oleh sebuah LSM internasional untuk uji coba perdagangan karbon,” ujar
Dhani, seoarang periset sosial dari Perkumpulan Hijau-Jambi, di Bogor
(23/12).
Kasus pengusiran warga yang tinggal dan menggantungkan sumber
penghidupannya dari hasil hutan yang berada di sekitar areal konservasi
(hutan dan alam) seperti hal di atas, bukan kejadian baru dan bila
berkaca dengan kondisi kebijakan kehutanan yang pro pengentasan
kemiskinan serta pro peningkatan peran serta masyarakat untuk
pengelolaan hutan yang baik. Tindakan pengusiran warga dari kawasan
hutan tersebut sangat kontra produktif atau tindakan yang melanjutkan
konservasi yang anti pemberdayaan.
Pemberdayaan masyarakat di sekitar dan di dalam hutan dijamin oleh
hukum dan perundang-undangan kehutanan. Reformasi kehutanan walau masih
banyak kekurangannya telah menempatkan masyarakat pinggir hutan sebagai
penentu pembangunan kehutanan. Ini terbukti adanya peraturan pemerintah
yang memebrikan hak yang sama dengan swasta untuk mengelola kawasan
hutan yaitu dalam praktik pengajuan Hutan Desa, Hutan Kemasyarakatan,
Hutan Tanaman Rakyat dan Kemitraan (PP. No.3 tahun 2008).
Bahkan tidak hanya itu, lebih lanjut sebagai pembelajaran dari
penerapan PP No.3 tahun 2008, Kementerian Kehutanan saat ini sedang
berinisiatif melahirkan peraturan yang menjamin adanya pemberdayaan
masyarakat di kawasan konservasi dan tidak mungkin tidak masyarakat
mendapatkan hak kelola atas kawasan konservasi.
Petugas Kepala Batu
Perubahan hukum, kebijakan, peraturan perundang-undangan atau
regulasi kehutanan sering kali tidak sampai kepada petugas lapangan
kehutanan. Kejadian-kejadian yang memunculkan kriminalisasi warga di
kawasan hutan (terutama konservasi), terjadi karena pelaksana kehutanan
di tingkat lapangan tidak mengikuti perkembangan yang di atas (perubahan
paradigma atau kebijakan) dan ikut perintah yang salah kaprah dari
kewenangan di daerah.
“Seorang polhut bilang konservasi harga mati. Dan saya hanya
bergumam,” ujar Dhani saat menceritakan kejadian pembakaran pondok dan
penebasan tanaman kopi warga Masyurai di 2009 lalu yang ia saksikan
dengan mata kepala sendiri.
Seperti yang diutarakan Dhani, dialami juga oleh warga Battang saat
bertemu dengan petugas BKSDA-TAWN, Marin Cornilius, di Palopo. Petugas
BKSDA-TWAN Palopo, seperti yang dituturkan ulang oleh seorang warga
Battang yang dikriminalisasi dalam Konflik TWAN dengan warga Battang,
menyebutkan, “Di sini (di Kelurahan Battang-red) tidak ada tanah adat, di Maluku saja ada tanah adat.”
Pernyataan-pernyataan seperti ‘konservasi harga mati’ dan ‘tidak ada
tanah adat di kawasan hutan’ oleh petugas lapangan dari dinas kehutanan
atau kementerian kehutanan adalah pertanda perubahan di tingkat atas di
sektor kehutanan tidak serta merta merembet ke wilayah atau ke tingkat
lapangan. Bukti masih banyaknya petugas lapangan yang ‘kepala batu’
adalah kegagalan reformasi kehutanan, terutama di tingkat pelaksana
kehutanan (birokrat).
Kondisi ini diakui oleh Kementerian Kehutanan. Dalam salah satu
pertemuan tentang hasil-hasil pelaksanaan Program Hutan Desa dan Hutan
Kemasyarakatan di Gedung Manggala Wanabhakti, Jakarta, yang
diselengarakan oleh Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan
Perhutanan Sosial (RLPS) pada 2009 lalu. Kementerian Kehutanan menyadari
kurangnya sosialisasi perubahan kebijakan kehutanan di tingkat wilayah
terutama untuk ke dinas-dinas di propinsi dan kabupaten. Dan sangat
ekstrim, sosialisasi perubahan kebijakan kehutanan kurang menyentuh para
bupati dan gubernur.
Kondisi lainnya, bisa jadi ini memperkuat dugaan reformasi kehutanan
hanya menyentuh ‘kepala-kepala’ birokrat di bidang perhutanan sosial,
tapi tidak bagi birokrat di bidang-bidang lainya di Kemeterian Kehutanan
dan wilayah. Hingga paradigma anti pemberdayaan yang melekat erat dalam
paradigma kehutanan kolonial, ‘kawasan hutan politik’, susah dirubah di era reformasi. (tJong)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar