counter

Sabtu, 29 Maret 2014

Kisah Perjalanan Dua Jam Tiga Puluh Lima Menit



Jam 2.30 wita.
Mobil yang kami tumpangi tiba-tiba berhenti dan mematikan mesinnya, dihadapan mobil tersorot jalanan terjal dan berlubang, saya pun turun untuk melihat kondisi jalan sebagaimana sebelumnya untuk mengarahkan jalur untuk pak sopir. Namun pak sopir dengan semangat yang lesu dan ungkapan yang mengeluh mengajak saya mengobrol dan menyatakan ketidaksanggupannya melanjutkan perjalanan.

Lama mengobrol dan akhirnya saya katakan bahwa saya tidak bisa mengambil keputusan serta meminta pak sopir untuk berbicara langsung dengan k enal yang masih tertidur di mobil, tak lama berselang hajar membangunkan kak enal untuk mengobrolo dengan pak sopir tentang keluhannya yang tak mampu lagi melanjutkan perjalanan.

Dari atas mobil kak enal nyeletuk dengan ungkapan layaknya orang yang baru bangun tidur, “ndak bisa begitu,kita kan sudah sepakat sampe di desa bada”ungkapnya, sopir pun meminta maaf “addampanganna dikka’ iya ke kupatarrui te oto,tae mo kubisa sule,apalagi sipaddua ra’,na leto mi per na te oto,melengke’ duka mi rem na”(saya minta maaf dengan sangat,kalau saya teruskan ini mobil,saya tidak bisa lagi kembali,apalagi saya hanya berdua,sedangkan per/pegas mobil saya sudah patah dan kampas remnya sudah melengket).

Lama bernegosiasi, akhirnya kami sepakat untuk menghentikan perjalanan dan memilih untuk berjalan kaki ditengah hutan dengan gelapnya malam. Sebelum kami berpisah dan berjalan dengan rute yang berbeda, kami bersama-sama menikmati Durian hadiah dari pak akis di Uraso, sekedar untuk mengurangi beban dan menjadi penghangat tubuh ditengah Hutan dengan cuaca yang dingin. satu persatu durian kami nikmati walau dengan usaha membukanya yang tradisional, diinjak,dipukuli batu dan digunting 

Setelah menikmati Durian, kami pun berjalan menyusuri penurunan yang lumayan terjal bagi lutut senior-senior kami, sesekali kami tertawa dan sesekali terdengar suara teriakan “hey,jangan cepat-cepat,kampas rem lutut kami sudah habis nih”celetuk kak enal dan kak indah yang berada dibelakang kami. Mas koko yang berada didepan dengan senternya terus berjalan dan membuktikan bahwa fisik beliau masih lumayan kuat dan bersaing dengan anak-anak muda, disela perjalanan ada celetukan mas koko yang sulit saya tuliskan di lemabaran ini. Tak lama berselang kak enal dan kak indah terjatuh/terpeleset di jalan bebatuan itu, mungkin karena kampas rem nya sudah habis 

Berjalan dan terus berjalan, penurunan dan jalan bebatuan yang kami tempuh sudah menghampiri 3 sampai 4 KM tiba-tiba kami melihat cahaya lampu dan bangunan seperti rumah, ada asa dan kegirangan tersendiri. Aku kemudian mengatakan ke Hajar bahwa Jembatan inilah yang aku maksud, warung inilah yang akau maksud, hal ini berarti perjalanan kita masih jauh, masih sekitar 20 KM menuju kampung/Desa Runde”Bada’”.

Kami akhirnya memutuskan untuk beristrahat di Warung itu, mas koko kemudian membuka pintu dengan sendirinya karena pemilik warung sudah tertidur, lama kami bercerita, akhirnya pemilik warung terbangun dan mempertanyakan kedatangan kami, cerita kesana dan kemari, akhirnya kami pun memesan kopi dan bersantai. Pemilik warung menyatakan kalau jarak ke Bada’ sudah dekat, sisa 18 KM, “seandainya saya punya motor sa akan ojek torang ke bada’, cuma motor saya dibawah sama anak-anak saya, satu orang ka bada’ satu orang lg ke tentena “ungkapnya.

Hampir setengah jam kami bercerita, pemilik warung kemudian menunjukkan tempat peristirahatan, kak indah ditunjukkan di Bale”Papan yang disusun menyerupai Ranjang” di bagian dalam dekat dapur warung dan kami kaum lelaki J ditunjukkan di bagian depan. K enal dan hajar pun beranjak dengan berbekal sleeping bad mereka masing-masing.

Saya dan mas koko terus menikmati kopi dan diselingi kepulan asap rokok sembari bercerita tentang perjalanan, tentang kegiatan/aktifitas seputar dunia NGO dan tentang lokasi-lokasi yang akan kami datangi, karena sebelumnya mas koko sudah pernah datang dan melakukan beberapa kegiatan semacam riset di kampung Bada’.

Sedang asyik-asyiknya bercerita, mata saya dan mas koko melihat ada dua cahaya yang menuruni jalan yang kami lalui dan mas koko pun bilang kalau itu mobil carry open yang sebelumnya bertemu di basecamp dan dengan yakinnya mas koko nyatakan kalau mobil tersebut akan singgah diwarung ini. Saya pun bergegas membangunkan kawan-kawan yang baru beberapa menit memejamkan mata.

Tak lama berselang mobil tersebutnpun singgah, sopirnya gondrong,berjenggot dan bernama elang. Kami bercerita tentang perjalanan kami yang cukup naas J, dan sopir itu mengatakan kalau mobil yang kami tumpangi masih belum jauh perjalanannya, padahal menurutnya mobil itu kuat cuma memang nyali dan keahlian dibutuhkan untuk medan perjalanan seperti ke kampung bada’ ini.

Sedang asyiknya meminum kopi, pak sopir pun menyatakan kesiapannya untuk memberi tumpangan dan mengantar kami mencari rumah pak Calvin Sigi yakni Salahsatu pendeta Klasis Rampi yang juga merupakan Pengurus Daerah AMAN Rampi dan selama ini memang menjadi tempat persinggahan jika kami ingin ke Rampi.

Setelah semua rampung, kopi pun habis sampai tetes terakhir, kami pun naik ke mobil Carry Open yang memuat beberapa Jerigen Bahan Bakar dan satu Box ikan yang diawetkan. Saya,Mas koko,Hajar dan K enal berada di Cabin belakang dan kak Indah duduk didepan menemani pak sopir. 

meninggalkan warung jam 3.33 Malam, Mobil pun melaju layaknya berada di jalur Tol, maklumlah sopirnya sudah menguasai medan jalan serta keahlian yang mumpuni, jalan kali ini masih sama baiknya, kadang dapat aspal kadang pula bebatuan,terjal,lobang dan sempit.

Gelap,Dingin,Kabut dan nyanyian burung malam menemani kami mkenyusuri sisa perjalanan menuju Kampung Bada’ berharap tuah segera tiba dengan selamat,setelah melewati jalur yang lumayan baik kami pun diperhadapkan dengan penurunan dan jalan bebatuan serta Hujan melengkapi perjalanan kami.
Sopir pun mengeluarkan kepala dari pintu mobilnya dan menyatakan niat baiknya “Mau di bungkus Kah?” yang maksudnya ingin memberi kami perlindungan terpal agar tak dibasahi hujan, tapi kami menyatakan biar saja, ada beberapa mantel koq J, berharap melihat kampung dengan cepat namun lama-lama juga terasa bosan, dan wajarlah sopir kami yang sebelumnya juga bosan mendengar kata-kata mas koko yang selalu menyatakan,”nggak...dekat lagi koq,sisa lima menit,sisa 3 KM”

Saya yang duduk di atas Jerigen BBM dan tak bersandar di Dinding Belakang Sopir dengan pasrah menantang Hujan dan Dingin, pakaian yang ditubuh sudah terasa basah semua...Pasrah 

Menurun...bebatuan..dan aliran sungai...ouww...saya yang duduk melihat alam sekitar, merasa senang dengan deretan cahaya yang menjadi pertanda kalau kampung sudah dekat seperti “sumber air su dekat”J. Datar,Persawahan, hujan pun berhenti dan Stop....mobil pun berhenti, saatnya membuang Bahan Bakar Urine.

Setelah melanjutkan perjalanan dengan beberapa menit, akhirnya kami pun tiba di kampung pertama Kecamatan Lore Selatan, jalannya mulus/beraspal, suasana kampung dini hari terasa asri,tertata rapi dengan umbul-umbul serta rambu jalan buatan masyarakat di masing-masing rumahnya.

Mobil terus melaju, menyusuri jalan Desa Runde setelah melalui beberapa desa dan tak lama mobil pun berhenti setelah mendapatkan ada 3 perempuan yang berhadapan dengan rombongan kami “ade, dimana rumah pak pendeta calvin sigi” (tentunya dengan bahasa lore selatanJ), oh...sudah dilewati...itu yang ada rumah beton sebelah kiri”ungkap gadis-gadis itu, sopir kami pun berterima kasih dan memutar balik mobilnya. 

Sekitar 30 Meter rombongan kami pun berhenti di depan sebuah rumah, sopir turun dan hendak membangunkan pemilik rumah, tapi tak lama berselang pemilik rumah muncul dari arah sa,ping rumah, sopir pun menanyakan tentang pak pendeta tapi ternyata beliau sudah beberapa hari ini ada di Rampi. Saya pun dengan yakinnya melihat rumah tersebut, walau sudah banyak perubahan yang terjadi karena sebelumnya saya sudah pernah datang di tempat ini 3 tahun yang lalu.

Dari dalam rumah muncul isteri pak pendeta dan mempersilahkan kami masuk, kami pun bergegas menurunkan barang-barang kami dari mobil dan meminta terima kasih kepada saudara elang yang telahg bersedia mengantar kami, saya bertanya kepadanya “bos...berapa yang kami harus bayar?” dia pun menjawab dengan polos sepolos jenggotnya “pembeli rokok saja”, saya akhirnya memberi 100 ribu tentunya hasil diskusi dengan kawan-kawan dan pak sopir pun menyatakan wah...ini banyak sekali J, kami bersalaman dan dia pun melanjutkan perjalanannya.

Pakaian yang basah, badan yang sudah kedinginan dan waktu yang menunjukkan pukul 5.05 menit...akhirnya kami bergerak cepat mengganti pakaian dan membereskan barang-barang bawaan kami, tak lama berselang ibu ricky/istri pendeta membawakan kami kopi panas yang menjadi penghangat badan di dini hari itu. Beberapa menit bercerita, akhirnya kami memutuskan untuk istrahat setelah menimbang kondisi tubuh yang tak dapat langsung melanjutkan perjalanan ke Rampi, “kita istrahat dulu sejam atau dua jam lah, kondisi kita sudah oleng gak bisa dipaksakan tuk lanjutkan perjalanan”ungkap mas koko.

(( Maaf tak ada bukti fhoto, karena datanya terserang virus....ciyus,ini kisah nyata :) ))

Tidak ada komentar:

Posting Komentar