Jam 2.30 wita.
Mobil yang kami tumpangi tiba-tiba berhenti dan mematikan mesinnya,
dihadapan mobil tersorot jalanan terjal dan berlubang, saya pun turun untuk
melihat kondisi jalan sebagaimana sebelumnya untuk mengarahkan jalur untuk pak
sopir. Namun pak sopir dengan semangat yang lesu dan ungkapan yang mengeluh
mengajak saya mengobrol dan menyatakan ketidaksanggupannya melanjutkan
perjalanan.
Lama mengobrol dan akhirnya saya katakan bahwa saya tidak bisa
mengambil keputusan serta meminta pak sopir untuk berbicara langsung dengan k
enal yang masih tertidur di mobil, tak lama berselang hajar membangunkan kak
enal untuk mengobrolo dengan pak sopir tentang keluhannya yang tak mampu lagi
melanjutkan perjalanan.
Dari atas mobil kak enal nyeletuk dengan ungkapan layaknya orang yang
baru bangun tidur, “ndak bisa begitu,kita
kan sudah sepakat sampe di desa bada”ungkapnya, sopir pun meminta maaf “addampanganna dikka’ iya ke kupatarrui te
oto,tae mo kubisa sule,apalagi sipaddua ra’,na leto mi per na te oto,melengke’
duka mi rem na”(saya minta maaf dengan sangat,kalau saya teruskan ini
mobil,saya tidak bisa lagi kembali,apalagi saya hanya berdua,sedangkan
per/pegas mobil saya sudah patah dan kampas remnya sudah melengket).
Lama bernegosiasi, akhirnya kami sepakat untuk menghentikan perjalanan
dan memilih untuk berjalan kaki ditengah hutan dengan gelapnya malam. Sebelum
kami berpisah dan berjalan dengan rute yang berbeda, kami bersama-sama
menikmati Durian hadiah dari pak akis di Uraso, sekedar untuk mengurangi beban
dan menjadi penghangat tubuh ditengah Hutan dengan cuaca yang dingin. satu
persatu durian kami nikmati walau dengan usaha membukanya yang tradisional,
diinjak,dipukuli batu dan digunting
Setelah menikmati Durian, kami pun berjalan menyusuri penurunan yang
lumayan terjal bagi lutut senior-senior kami, sesekali kami tertawa dan
sesekali terdengar suara teriakan “hey,jangan cepat-cepat,kampas rem lutut
kami sudah habis nih”celetuk kak enal dan kak indah yang berada
dibelakang kami. Mas koko yang berada didepan dengan senternya terus berjalan
dan membuktikan bahwa fisik beliau masih lumayan kuat dan bersaing dengan
anak-anak muda, disela perjalanan ada celetukan mas koko yang sulit saya
tuliskan di lemabaran ini. Tak lama berselang kak enal dan kak indah
terjatuh/terpeleset di jalan bebatuan itu, mungkin karena kampas rem nya sudah
habis
Berjalan dan terus berjalan, penurunan dan jalan bebatuan yang kami
tempuh sudah menghampiri 3 sampai 4 KM tiba-tiba kami melihat cahaya lampu dan
bangunan seperti rumah, ada asa dan kegirangan tersendiri. Aku kemudian
mengatakan ke Hajar bahwa Jembatan inilah yang aku maksud, warung inilah yang
akau maksud, hal ini berarti perjalanan kita masih jauh, masih sekitar 20 KM
menuju kampung/Desa Runde”Bada’”.
Kami akhirnya memutuskan untuk beristrahat di Warung itu, mas koko
kemudian membuka pintu dengan sendirinya karena pemilik warung sudah tertidur,
lama kami bercerita, akhirnya pemilik warung terbangun dan mempertanyakan kedatangan
kami, cerita kesana dan kemari, akhirnya kami pun memesan kopi dan bersantai.
Pemilik warung menyatakan kalau jarak ke Bada’ sudah dekat, sisa 18 KM, “seandainya saya punya motor sa akan ojek
torang ke bada’, cuma motor saya dibawah sama anak-anak saya, satu orang ka
bada’ satu orang lg ke tentena “ungkapnya.
Hampir setengah jam kami bercerita, pemilik warung kemudian menunjukkan
tempat peristirahatan, kak indah ditunjukkan di Bale”Papan yang disusun
menyerupai Ranjang” di bagian dalam dekat dapur warung dan kami kaum lelaki J
ditunjukkan di bagian depan. K enal dan hajar pun beranjak dengan berbekal
sleeping bad mereka masing-masing.
Saya dan mas koko terus menikmati kopi dan diselingi kepulan asap rokok
sembari bercerita tentang perjalanan, tentang kegiatan/aktifitas seputar dunia
NGO dan tentang lokasi-lokasi yang akan kami datangi, karena sebelumnya mas
koko sudah pernah datang dan melakukan beberapa kegiatan semacam riset di
kampung Bada’.
Sedang asyik-asyiknya bercerita, mata saya dan mas koko melihat ada dua
cahaya yang menuruni jalan yang kami lalui dan mas koko pun bilang kalau itu
mobil carry open yang sebelumnya bertemu di basecamp dan dengan yakinnya mas
koko nyatakan kalau mobil tersebut akan singgah diwarung ini. Saya pun bergegas
membangunkan kawan-kawan yang baru beberapa menit memejamkan mata.
Tak lama berselang mobil tersebutnpun singgah, sopirnya
gondrong,berjenggot dan bernama elang. Kami bercerita tentang perjalanan kami
yang cukup naas J, dan sopir itu mengatakan kalau mobil yang kami tumpangi masih belum
jauh perjalanannya, padahal menurutnya mobil itu kuat cuma memang nyali dan
keahlian dibutuhkan untuk medan perjalanan seperti ke kampung bada’ ini.
Sedang asyiknya meminum kopi, pak sopir pun menyatakan kesiapannya
untuk memberi tumpangan dan mengantar kami mencari rumah pak Calvin Sigi yakni
Salahsatu pendeta Klasis Rampi yang juga merupakan Pengurus Daerah AMAN Rampi
dan selama ini memang menjadi tempat persinggahan jika kami ingin ke Rampi.
Setelah semua rampung, kopi pun habis sampai tetes terakhir, kami pun
naik ke mobil Carry Open yang memuat beberapa Jerigen Bahan Bakar dan satu Box
ikan yang diawetkan. Saya,Mas koko,Hajar dan K enal berada di Cabin belakang
dan kak Indah duduk didepan menemani pak sopir.
meninggalkan warung jam 3.33 Malam, Mobil pun melaju layaknya berada di
jalur Tol, maklumlah sopirnya sudah menguasai medan jalan serta keahlian yang
mumpuni, jalan kali ini masih sama baiknya, kadang dapat aspal kadang pula
bebatuan,terjal,lobang dan sempit.
Gelap,Dingin,Kabut dan nyanyian burung malam menemani kami mkenyusuri
sisa perjalanan menuju Kampung Bada’ berharap tuah segera tiba dengan
selamat,setelah melewati jalur yang lumayan baik kami pun diperhadapkan dengan
penurunan dan jalan bebatuan serta Hujan melengkapi perjalanan kami.
Sopir pun mengeluarkan kepala dari pintu mobilnya dan menyatakan niat
baiknya “Mau di bungkus Kah?” yang
maksudnya ingin memberi kami perlindungan terpal agar tak dibasahi hujan, tapi
kami menyatakan biar saja, ada beberapa mantel koq J,
berharap melihat kampung dengan cepat namun lama-lama juga terasa bosan, dan
wajarlah sopir kami yang sebelumnya juga bosan mendengar kata-kata mas koko
yang selalu menyatakan,”nggak...dekat
lagi koq,sisa lima menit,sisa 3 KM”
Saya yang duduk di atas Jerigen BBM dan tak bersandar di Dinding
Belakang Sopir dengan pasrah menantang Hujan dan Dingin, pakaian yang ditubuh
sudah terasa basah semua...Pasrah
Menurun...bebatuan..dan aliran sungai...ouww...saya yang duduk melihat
alam sekitar, merasa senang dengan deretan cahaya yang menjadi pertanda kalau
kampung sudah dekat seperti “sumber air su dekat”J.
Datar,Persawahan, hujan pun berhenti dan Stop....mobil pun berhenti, saatnya
membuang Bahan Bakar Urine.
Setelah melanjutkan perjalanan dengan beberapa menit, akhirnya kami pun
tiba di kampung pertama Kecamatan Lore Selatan, jalannya mulus/beraspal,
suasana kampung dini hari terasa asri,tertata rapi dengan umbul-umbul serta
rambu jalan buatan masyarakat di masing-masing rumahnya.
Mobil terus melaju, menyusuri jalan Desa Runde setelah melalui beberapa
desa dan tak lama mobil pun berhenti setelah mendapatkan ada 3 perempuan yang berhadapan
dengan rombongan kami “ade, dimana rumah pak pendeta calvin sigi” (tentunya
dengan bahasa lore selatanJ), oh...sudah dilewati...itu yang ada rumah beton sebelah kiri”ungkap
gadis-gadis itu, sopir kami pun berterima kasih dan memutar balik mobilnya.
Sekitar 30 Meter rombongan kami pun berhenti di depan sebuah rumah,
sopir turun dan hendak membangunkan pemilik rumah, tapi tak lama berselang
pemilik rumah muncul dari arah sa,ping rumah, sopir pun menanyakan tentang pak
pendeta tapi ternyata beliau sudah beberapa hari ini ada di Rampi. Saya pun
dengan yakinnya melihat rumah tersebut, walau sudah banyak perubahan yang
terjadi karena sebelumnya saya sudah pernah datang di tempat ini 3 tahun yang
lalu.
Dari dalam rumah muncul isteri pak pendeta dan mempersilahkan kami
masuk, kami pun bergegas menurunkan barang-barang kami dari mobil dan meminta
terima kasih kepada saudara elang yang telahg bersedia mengantar kami, saya
bertanya kepadanya “bos...berapa yang kami harus bayar?” dia pun menjawab
dengan polos sepolos jenggotnya “pembeli rokok saja”, saya akhirnya memberi 100
ribu tentunya hasil diskusi dengan kawan-kawan dan pak sopir pun menyatakan
wah...ini banyak sekali J, kami bersalaman dan dia pun melanjutkan perjalanannya.
Pakaian yang basah, badan yang sudah kedinginan dan waktu yang
menunjukkan pukul 5.05 menit...akhirnya kami bergerak cepat mengganti pakaian
dan membereskan barang-barang bawaan kami, tak lama berselang ibu ricky/istri
pendeta membawakan kami kopi panas yang menjadi penghangat badan di dini hari
itu. Beberapa menit bercerita, akhirnya kami memutuskan untuk istrahat setelah
menimbang kondisi tubuh yang tak dapat langsung melanjutkan perjalanan ke
Rampi, “kita istrahat dulu sejam atau dua
jam lah, kondisi kita sudah oleng gak bisa dipaksakan tuk lanjutkan perjalanan”ungkap
mas koko.
(( Maaf tak ada bukti fhoto, karena datanya terserang virus....ciyus,ini kisah nyata :) ))
Tidak ada komentar:
Posting Komentar