Jakarta, 17 Desember 2013. Indonesia tengah berada di
persimpangan jalan. Komitmen SBY untuk menurunkan emisi sebesar 26% atau
41% dari kondisi bisnis seperti biasa pada tahun 2020 sekaligus menjaga
pertumbuhan ekonomi sebesar 7% mulai dipertanyakan oleh masyarakat
sipil, terlebih ketika kebijakan percepatan dan perluasan pembangunan
ekonomi Indonesia yang tercakup dalam Perpres No. 88/2011 atau MP3EI,
justru mengancam keberadaan hutan Indonesia yang tersisa, yang
merupakan tumpuan hidup puluhan juta penduduk, termasuk masyarakat adat
dan lokal. Janji Pemerintah untuk ‘menghijaukan’ MP3EI pasca-protes
masyarakat sipil pun belum terlihat sementara Pemilu sudah di depan
mata. Berdasarkan analisis HuMa dan 23 organisasi lain yang terlibat
dalam jaringan pendokumentasi konflik, kerusakan lingkungan dan konflik
agraria diperkirakan akan meningkat menjelang tahun politik seiring
maraknya transaksi ekonomi-politik untuk mencapai kursi kekuasaan. Dalam
hal ini, daerah menjadi medan pertempuran penting karena di tingkat
inilah konsesi eksploitasi SDA banyak dikeluarkan secara masif menjelang
pemilu.
Kebijakan Pemerintah untuk menurunkan emisi dari kerusakan hutan yang
dikenal dengan REDD+ kini berjalan di tengah inkonsistensi kebijakan di
atas. Satu setengah tahun telah berlalu sejak janji untuk memperbaiki
tata kelola kehutanan Indonesia dimaktubkan dalam Strategi Nasional
REDD+ yang diluncurkan pada bulan Juni 2012. Setelah sekian lama,
kelembagaan REDD+ yang diharapkan dapat segera menjalankan Stranas pada
akhirnya dibentuk, namun kewenangannya dibatasi dan pemimpinnya pun
tidak kunjung diumumkan sehingga Badan REDD+ tampak tertinggal dalam
berbagai proses kebijakan yang saat ini mulai bergulir.
Stranas REDD+ mulai diturunkan ke dalam Strategi dan Rencana Aksi
Provinsi (SRAP) untuk mengimplementasikan REDD+ di tingkat daerah.
Konsistensi substansi SRAP dengan Stranas sekaligus kemampuan untuk
merangkai solusi atas persoalan kehutanan di daerah dalam strategi aksi
yang konkrit merupakan harapan utama yang ditaruh ke pundak SRAP. Dalam
konteks ini, Perkumpulan HuMa memeriksa secara menyeluruh substansi SRAP
di tiga Provinsi: Sumatera Barat, Kalimantan Timur dan Sulawesi Tengah,
khususnya terkait isu hak masyarakat adat dan lokal. Analisis awal
menunjukkan beberapa temuan penting, di antaranya tidak
dimasukkannya proyeksi deforestasi dan potensi kehancuran lingkungan dan
hutan akibat MP3EI, sebagaimana dalam SRAP Sulawesi Tengah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar