counter

Rabu, 12 November 2014

Memasukkan Hak-hak Masyarakat dalam One Map Policy



Jakarta, 12 November 2014 – Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) beserta kelompok-kelompok masyarakat sipil telah berhasil menyelesaikan Standard Operating Procedure (SOP) Pemetaan Partisipatif. SOP ini berperan penting dalam memastikan integrasi peta partisipatif dalam kebijakan satu peta (one map policy), sehingga kebijakan pemerintah tersebut memiliki semangat memperjuangkan kepentingan masyarakat.

Hal tersebut disampaikan pada konferensi pers SOP Pemetaan Partisipatif yang diadakan pada Rabu (12/11) di Jakarta. Hadir di acara tersebut Deny Rahadian; Koordinator Nasional JKPP, Imam Hanafi; Kepala Divisi Advokasi JKPP, Ari Dartoyo; Kepala Bidang Standardisasi Penyelenggaraan IG, William Sabandar; Deputi Bidang Operasional BP REDD+, Arifin Saleh; Deputi III Sekretaris Jendral Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, dan Iwan Nurdin; Sekretaris Jendral KPA.

Sesuai dengan Undang-undang No. 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial, Badan Informasi Geospasial (BIG) merupakan badan penyelenggara Informasi Geospasial Dasar (IGD) sehingga BIG diberikan kewenangan untuk mengintegrasikan berbagai peta yang dibuat dan dimiliki oleh berbagai sektor baik swasta maupun pemerintah ke dalam satu peta dasar (One Map). Dalam hal ini, BIG berfungsi untuk menyiapkan infrastruktur, sistem dan stadarisasi peta – peta.

BIG juga telah menyiapkan panduan dan SOP Pemetaan Partisipatif untuk mengakomodasi data spasial masyarakat. Hanya saja, masih terdapat perbedaan antara konsep pemetaan partisipatif versi BIG dengan pemetaan partisipatif yang biasa dilakukan oleh masyarakat.

Ini kemudian menyebabkan organisasi-organisasi masyarakat sipil yang concern dengan isu ruang melahirkan rekomendasi untuk menyusun SOP Pemetaan. “Ini latar belakang kami di JKPP bersama rekan-rekan organisasi-organisasi masyarakat sipil menyelesaikan SOP Pemetaan Partisipatif membuat SOP sendiri,” tutur Deny Rahadian.

Deny melanjutkan SOP Pemetaan Partisipatif JKPP berbeda dengan versi pemerintah yang bersifat teknis karena SOP JKPP memiliki semangat memperjuangkan kepentingan masyarakat.

SOP JKPP dan organisasi-organisasi masyarakat sipil tidak hanya berisi rincian bagaimana membuat peta partisipatif, namun SOP ini menekankan keterkaitan wilayah-wilayah yang dipetakan dengan hak-hak yang dimiliki masyarakat lokal yang mendiaminya dengan mengakomodir peta yang dibuat oleh masyarakat  untuk menunjukkan dan membuktikan ruang kelolanya

Imam Hanafi menyampaikan bahwa SOP ini tidak menegasikan proses pemerintah namun meningkatkan kualitas one map policy karena SOP ini merupakan masukan kepada BIG dan pemerintah. “Kami memiliki kerja sama yang baik dengan BIG dan apa yang kami kerjakan akan kami sampaikan dan integrasikan dengan kerja BIG,” tambahnya.

Melalui pengintegrasian berbagai peta sektoral (pertambangan, perkebunan, kehutanan, dan sebagainya) tersebut diharapkan segala masalah konflik sosial akibat tumpang tindih data dasar penguasaan lahan dapat diselesaikan. Hal ini juga merupakan salah satu komitmen pemerintahan baru, Presiden Jokowi dalam beberapa pernyataannya selalu berkomitmen untuk mengimplementasikan kebijakan satu peta ini, peta yang akurat, presisi dan mutakhir yang bisa dijadikan acuan bagi pemerintah dalam membuat kebijakan yang tepat dan efektif.

Ari Dartoyo, Kepala Bidang Standardisasi Penyelenggaraan IG mengatakan dalam hal standardisasi produk-produk Informasi Geospasial (IG), BIG telah membentuk Komite Teknis bidang Informasi Geografi/Geomatika. Komite teknis beranggotakan unsur-unsur dari pemerintah, pengguna, asosiasi profesi dan pakar. Komite ini yang nantinya bertugas untuk menguji, memverifikasi usulan-usulan produk IG yang diajukan oleh Badan, Instansi Pemerintah, Pemerintah daerah atau kelompok orang. Usulan standardisasi produk IG yang telah disetujui komisi teknis selanjutnya diajukan ke BSN untuk menjadi produk IG yang telah memenuhi standar SNI.

Arifin Saleh, Deputi III Sekretaris Jendral Aliansi Masyarakat Adat Nusantara mengatakan SOP pemetaan partisipatif ini bagai gayung bersambut terhadap komitmen dan inisiatif-inisiatif yang direncanakan oleh pemerintah untuk mewujudkan pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat terutama mempercepat pengakuan terhadap peta-peta wilayah adat.

Diharapkan melalui kebijakan satu peta, seluruh peta yang dihasilkan memiliki satu standar yang sama, satu referensi, satu basis data dan satu geoportal. Termasuk didalamnya tidak saja mencakup data resmi dari berbagai sektor kementerian/instansi terkait (kehutanan, pekebunan, pertanahan, pekerjaan umum, pertambangan dan energi dan sebagainya) namun juga informasi tanah-tanah masyarakat adat/lokal, yang kemudian menjadi referensi  dalam pengambilan kebijakan pengaturan ruang, termasuk dalam isu perubahan iklim (REDD+).

Penyusunan SOP Pemetaan Partisipatif ini melibatkan berbagai lembaga dan individu yang concern dengan isu ruang masyarakat serta peneliti dan akademisi. Sistematika SOP PP versi JKPP dan jaringan menekankan pada  bagaimana menempatkan masyarakat sebagai pelaku utama dalam proses pemetaan.

SOP PP ini mendorong pentingnya komponen sosial dalam peta bukan hanya persoalan teknis kartografi semata. SOP Pemetaan Partisipatif yang telah selesai disusun dengan judul “Penyelenggaraan Pemetaan Partisipatif Dan Pengendalian Kualitas Peta Partisipatif” siap untuk diusulkan kepada Badan Standarisasi Nasional (BSN) untuk memperoleh Sertifikasi SNI.


--- S e l e s a i ---

Kontak Media
Imam Hanafi
085252725155

Senin, 31 Maret 2014

a n c h a r e s i s t: KOMUNITAS BA’TAN MENGGELAR RITUAL MAPPATONGKO

a n c h a r e s i s t: KOMUNITAS BA’TAN MENGGELAR RITUAL MAPPATONGKO: Senin tanggal 31 Maret 2014 bertempat di Halaman Kantor Kelurahan Padang Lambe Kecamatan Wara Barat Kota Palopo dilakukan Proses Pa’Patong...

KOMUNITAS BA’TAN MENGGELAR RITUAL MAPPATONGKO

Senin tanggal 31 Maret 2014 bertempat di Halaman Kantor Kelurahan Padang Lambe Kecamatan Wara Barat Kota Palopo dilakukan Proses Pa’Patongkoan Tomakaka Ba’tan oleh Komunitas Ba’tan. Kegiatan ini dilakukan untuk mengukuhkan Bapak Maming sebagai Tomakaka ke 21 Komunitas Ba’tan.

Mappatongko/Pa’Patongkoan adalah Ritual/Tradisi Komunitas Ba’tan untuk mengukuhkan seorang Tomakaka/Ketua Adat. Hal ini biasanya dilakukan setelah adanya pergantian Katomakakaan di Komunitas Ba’tan dan Pergantian Katomakakaan di Komunitas Ba’tan kebanyakan terjadi karena Tomakaka sebelumnya meninggal dunia.

Sabtu, 29 Maret 2014

Kisah Perjalanan Dua Jam Tiga Puluh Lima Menit



Jam 2.30 wita.
Mobil yang kami tumpangi tiba-tiba berhenti dan mematikan mesinnya, dihadapan mobil tersorot jalanan terjal dan berlubang, saya pun turun untuk melihat kondisi jalan sebagaimana sebelumnya untuk mengarahkan jalur untuk pak sopir. Namun pak sopir dengan semangat yang lesu dan ungkapan yang mengeluh mengajak saya mengobrol dan menyatakan ketidaksanggupannya melanjutkan perjalanan.

Lama mengobrol dan akhirnya saya katakan bahwa saya tidak bisa mengambil keputusan serta meminta pak sopir untuk berbicara langsung dengan k enal yang masih tertidur di mobil, tak lama berselang hajar membangunkan kak enal untuk mengobrolo dengan pak sopir tentang keluhannya yang tak mampu lagi melanjutkan perjalanan.

Dari atas mobil kak enal nyeletuk dengan ungkapan layaknya orang yang baru bangun tidur, “ndak bisa begitu,kita kan sudah sepakat sampe di desa bada”ungkapnya, sopir pun meminta maaf “addampanganna dikka’ iya ke kupatarrui te oto,tae mo kubisa sule,apalagi sipaddua ra’,na leto mi per na te oto,melengke’ duka mi rem na”(saya minta maaf dengan sangat,kalau saya teruskan ini mobil,saya tidak bisa lagi kembali,apalagi saya hanya berdua,sedangkan per/pegas mobil saya sudah patah dan kampas remnya sudah melengket).

Kamis, 20 Maret 2014

Resolusi Konflik Kehutanan Di Kota Palopo Menunggu Kebijakan Pemerintah Yang Pro Rakyat



“Belum ada sejarah Kepala Daerah dipenjara karena memperjuangkan Nasib Rakyatnya, Bahkan Jika pun ada maka itu lebih Mulia daripada Berdiam Diri”(Hamsaluddin)




Konflik di sekitar kawasan hutan masih menempati urutan teratas di Negara ini, Potensi Konflik di sector Kehutanan ini bahkan bersifat laten dan semakin menambah sejarah buruknya perhatian Pemerintah kepada masyarakatnya. Sampai saat ini ada 33.000 Desa yang berkonflik di sekitar dan dalam Kawasan Hutan, untuk wilayah Sulawesi Selatan berjumlah 719 Desa/Kelurahan dan Khusus Kota Palopo ada 5 Kelurahan dengan Jenis Konflik Hutan Lindung dan Konservai Taman Wisata Alam
 
Satu hal yang tak dapat dipungkiri bahwa potensi Konflik Kehutanan ini adalah salahsatu bentuk warisan paradigma Hukum zaman Belanda dengan UU Agraria 1870 atau biasa dikenal dengan Agrarische Wet 1870. Undang- Undang ini paling terkenal dengan ungkapan bahwa semua tanah yang tidak bisa dibuktikan sebagai hak eigendom seseorang maka tanah tersebut adalah Tanah Milik Negara. Disisi yang lain kita mengenal Kawasan Hutan yang sering didefinisikan sebagai Suatu Kawasan yang diatasnya tidak berdiri Hak”Sertifikat”.
 
Tindakan Semena-mena Negara di sector Kehutanan dilanjutkan atau diwarisi oleh UU 41 Tahun 1999 seperti pada Pasal 1 Angka 3 sebelum direvisi “Kawasan Hutan adalah Wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh Pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai Hutan Negara”. Pasal ini yang banyak menimbulkan konflik karena penegakan hukumnya dibarengi dengan Fatwa Kekuasaan Kehutanan yang dengan semena-mena menunjuk suatu wilayah sebagai Kawasan Hutan, baik itu perkampungan ataupun sector-sektor produksi masyarakat.
 
Kewenangan Kehutanan yang sangat adi kuasa ini dikeluhkan oleh masyarakat dan bahkan Pemerintah di beberapa Daerah karena merasa tidak ada jaminan kepastian hukum dalam menjalankan kewenangannya yang berada di sekitar atau didalam Kawasan Hutan seperti Permukiman,Perumahan, maupun sarana Prasarana lainnya yang mendukung kemajuan Masyarakat di Daerahnya seperti Bupati Kapuas, Bupati Katingan,Bupati Barito Timur, Bupati Sukamara,Bupati Gunung Mas yang dengan berani melakukan gugatan hukum ke Mahkamah Konstitusi mengenai pasal 1 Angka 3 UU 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan tersebut.

Perjuangan Gugatan beberapa Bupati diatas dipenuhi oleh Mahkamah Konstitusi dengan Putusan MK No.45/PUU-IX/2011 yakni merevisi Pasal 1 Angka 3 UU 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dari ““Kawasan Hutan adalah Wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh Pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai Hutan Negara” menjadi “Kawasan Hutan adalah Wilayah tertentu yang ditetapkan oleh Pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai Hutan Tetap”. Perubahan Redaksi Pasal diatas memastikan pula tentang Konsekuensi Hukum terhadap Kawasan Hutan yang masih dalam status penunjukan antara lain :
1.    Kawasan Hutan yang masih dalam status Penunjukan tidak memiliki Konsekuensi Hukum dan Penerapan Hukum diatasnya adalah Bentuk Pelanggaran dan Kriminalisasi.
2.    Mendesak Pihak Kehutanan untuk melakukan Tahapan Penatabatasan Kawasan Hutan sesuai dengan prosedur yang ditetapkan.

Putusan MK No.45/PUU-IX/2011 ini merupakan salahsatu solusi untuk penyelesaian Konflik Sumber Daya Alam yang berada di Sekitar atau di dalam Kawasan Hutan di masing-masing Daerah, hal ini tentunya harus dibarengi dengan Sikap dan Political Will Pemerintah Daerah yang Bijak dan mau menyelamatkan Masyarakatnya dari Jeratan Hukum yang terkait dengan Kehutanan.

Khusus di Kota Palopo yang memiliki 5 Keluharan yang berada disekitar dan didalam Kawasan Hutan tercatat ±10 Kasus Masyarakat yang terjerat oleh aturan-aturan Kehutanan dan menjadi kendala serta alasan bagi Pemerintah Daerah dalam memberikan Bantuan serta Pelayanan pada sector vital seperti PUSKESKEL dan Jalan Tani di Kelurahan Battang Barat, Pembangunan Sekolah Dasar di Kelurahan Padang Lambe/Lemarrang.

Di satu sisi Kawasan Hutan untuk Provinsi Sulawesi Selatan masih dalam Status Penunjukan Sesuai SK No. 434 Menhut-II/2009 yang berarti segala aktifitas penjagaan Hutan yang meniscayakan Penegakan Hukum setelah di Revisinya UU 41 Tahun 1999 Pasal 1 Angka 3 adalah bentuk Pelanggaran Hukum dan tindakan tersebut adalah Ilegal serta Kriminal.

Demi berjalannya Penerapan Kebijakan dan Implementasi Hukum yang benar pada sector Kehutanan, diharapkan Peran Pemerintah Daerah Kota Palopo untuk turut aktif mengimplementasikan Rekomendasi Putusan Mahkamah Konstitusi No.45/PUU-IX/2011 seperti melakukan Penatabatasan Kawasan Hutan yang melibatkan Masyarakat sesuai dengan Peraturan Pemerintah yang berlaku dan mendorong Revisi Tata Ruang Wilayah dengan tidak mengikuti Peta Penunjukan Kawasan Hutan secara membabi buta, karena Peta Penunjukan hanya menjadi acuan bagi Pemerintah Daerah untuk menvalidkan dan memastikan tidak adanya hak-hak pihak ketiga dalam Peta Penunjukan tersebut

Pelibatan Masyarakat terkait Penatabatasan Kawasan Hutan adalah bentuk Penghargaan,Penghormatan dan Perlindungan Hak-Hak Masyarakat yang berada di sekitar dan di dalam Kawasan Hutan seperti yang diatur pada Nomor : P.62/Menhut-II/2013 TENTANG  PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR  P.44/MENHUT-II/2012 TENTANG PENGUKUHAN KAWASAN HUTAN Pasal 1 Angka 17-18.

Penatabatasan yang tidak Partisifatif akan menimbulkan claim hak dimasing-masing pihak dan menjadi cikal bakal Konflik Sumber Daya Alam antara Pemerintah dan Masyarakat. Implementasi MK No.45/PUU-IX/2011 dengan melakukan Penatabatasan Ulang Kawasan Hutan dan Merevisi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Palopo adalah hal yang di impikan oleh Masyarakat yang berada disekitar dan didalam Kawasan Hutan, hal ini juga menjadi Peluang Besar bagi Pemerintah Kota Palopo untuk melayani masyarakat dengan pemberian Fasilitas Umum tanpa melanggar Hukum yang ada.  

Harapan untuk meminimalisir Konflik Sumber Daya Alam disekitar dan didalam Kawasan Hutan sangat memiliki Peluang Besar bagi Pemerintah Daerah Kota Palopo, hal ini dengan merujuk Kawasan Hutan Kota Palopo yang masih mencapai 42% dan masih besar untuk ambang batas Kawasan Hutan yang dipersyaratkan untuk setiap daerah. Namun sekali lagi dibutuhkan Kebijakan Pemerintah Daerah Kota Palopo yang Pro Rakyat seperti beberapa Bupati yang dengan susah payah melakukan Gugatan UU 41 Tahun 1999 Pasal 1 Angka 3  demi mewujudkan Pembangunan di Daerahnya. Pemerintah Kota Palopo tak harus latah memahami mekanisme Hukum yang ada tapi melihat Aspirasi dan kebutuhan Masyarakat,  karena keinginan Masyarakat tentunya tidak memikirkan kerugian bagi hidup mereka.


Jumat, 07 Maret 2014

Konflik Agraria : Karena Pemerintah Cinta Pemodal daripada Rakyatnya

Seyogyanya Fungsi Negara adalah Melindungi,Menghormati dan Mengayomi Hak-Hak Rakyatnya, namun di Indonesia ini terkadang Nurani kemanusiaan dan rasa kewarganegaraan kita selalu tersentak dan merasakan pilu saat Negara "Pelaksana" menerlantarkan Rakyat atau bahkan melakukan kedzaliman yang diluar batas wajarnya. 

Rabu, tanggal 5 Maret 2014 nasib naas dialami oleh sdr.Puji warga Suku Anak Dalam(SAD) dikriminalisasi hingga menghembuskan nafas terakhir, hal ini adalah salahsatu dari banyaknya deretan peristiwa kriminal yang terjadi karena konflik Agraria/Perebutan Sumber Daya Alam, baik itu antara masyarakat dengan Perusahaan ataupun pemerintah.

Bagaimana Konflik Agraria merajalela di Negeri ini ???

Rabu, 19 Februari 2014

Restitusi Hak Wilayah Adat

Oleh : Noer Fauzi Rachman


Putusan Mahkamah Konstitusi atas perkara Nomor 35/PUU-X/2012 yang dibacakan pada 16 Mei 2013 meralat Pasal 6 Ayat 1 dan beberapa pasal lainnya yang terkait UU No 41/1999 tentang Kehutanan.

Dalam putusan itu, ”hutan adat” dipindahkan posisinya dari ”hutan negara” ke ”hutan hak”. Penulis menilai putusan ini adalah tonggak baru dalam perjalanan politik agraria kehutanan Indonesia, terutama dengan mengoreksi penguasaan negara atas wilayah adat. MK melegitimasi klaim Aliansi Masyarakat Adat Nusantara bahwa negara keliru memasukkan wilayah adat sebagai bagian hutan (milik) negara.

Perpindahan posisi ”hutan adat” itu sama sekali bukan soal yang remeh. Ini adalah hasil perjuangan antidiskriminasi. Putusan MK adalah langkah awal pemulihan status masyarakat hukum adat sebagai ”penyandang hak”, subyek hukum tersendiri, dan pemilik wilayah adatnya.

Makna putusan MK

Putusan MK itu harus dipahami dalam konteks konflik-konflik agraria yang struktural, kronis, dan meluas di seantero Indonesia. Konflik-konflik agraria itu disebabkan pemberian izin/hak pemanfaatan oleh pejabat publik kepada perusahaan-perusahaan raksasa atau pihak-pihak pengelola sumber daya alam untuk tujuan produksi, penyediaan infrastruktur, hingga konservasi.

MK telah ”memukul gong” mengumumkan ralat itu. Pasca-putusan MK itu, gerakan plangisasi, yakni pernyataan klaim dengan memasang plang di wilayah adat mereka, makin meluas. Di atas plang itu tertuliskan informasi kurang lebih sebagai berikut: ”Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi atas Kasus No 35/PUU-X/2012, hutan adat ini bukan hutan negara.” Tujuannya untuk menunjukkan secara terang-terangan klaim masyarakat adat atas wilayah adatnya di berbagai kawasan hutan yang telah dialokasikan Menteri Kehutanan untuk dikuasai perusahaan-perusahaan hutan tanaman industri, pertambangan, perkebunan, dan Balai Besar Taman Nasional.

Jumat, 03 Januari 2014

Konservasi Anti Pemberdayaan

Konservasi Anti Pemberdayaan
oleh (Tjong Paniti)

Banyak kasus penghengkangan komunitas dari ruang hidupnya sudah lama terjadi. Di Indonesia sudah terjadi sejak adanya ‘Kawasan Hutan Politik’ yang diterapkan Pemerintah Kolonial Belanda. Dan hingga kini paradigma ini masih berjalan di tingkat praktik. Dan ini yang menjadikan kawasan konservasi ‘haram’ dari aktivitas komunitas yang sudah lama tinggal di dalam maupun di sekitar kawasan tersebut.

Sebut saja kasus penangkapan seorang Sulawesi Selatan beberapa waktu lalu, karena alasan aktivitas warga tersebut telah memasuki areal Taman Wisata Alam Nanggala III (TWAN) yang saat ini melalui BKSDA (Balai Konservasi Sumberdaya Alam) setempat mengajukan perluasan areal. Walau sudah ada keputusan pengadilan, namun kasus tersebut berujung tidak jelas, warga Kelurahan Battang masih dalam bayang-bayang penangkapan oleh BKSDA.
warga di Kelurahan Battang, Palopo,

Rencana perluasan areal TWAN yang sudah diajukan oleh BKSDA setempat pada 2002 meliputi penambahan areal seluas 400 ha dari 500 ha menjadi 900 ha. Angka 400 ha tersebut sebagian besar telah mengklaim lahan-lahan masyarakat yang di era Pemerintahan Kolonial Belanda, masyarakat boleh mengusahakan kebun cengkeh yang dilakukan hingga sekarang. Proses penunjukkan perluasan TWAN pada 2004 belum mendapat persetejuan Menteri Kehutanan saat itu, karena proses pengajuannya tidak transparan.

“Kami pernah dikumpulkan oleh mereka (BKSDA-red), kami tanda tangan daftar hadir. Tapi kok tiba-tiba tanda tangan itu dianggap kami setuju rencana perluasan taman wisata,” jelas salah satu warga (yang diputus pengadilan bersalah karena telah masuk areal TWAN) yang tidak bersedia di sebut namanya di Battang, Kota Palopo (27/11).